Tuesday, December 27, 2005

Tips: Batasan dalam Pergaulan

Batasan dalam Pergaulan, Perlukah?
Direvisi oleh: Yunita Ramadhana

Dalam pertemanan, kita sering kali dihadapkan pada permasalahan yang cenderung membuat kita terpojok pada sisi yang dilematis. Masalah ini biasanya berupa pertanyaan yang sering muncul pada pikiran kita apabila kita ingin mengutarakan sesuatu tentang hal yang tidak kita sukai pada teman, saudara, sahabat, ataupun pacar kita sendiri.

Kita sering berfikir, "kalau hal ini ku katakan padanya, dia marah gak ya?", "apa nanti aku gak terkesan menyepelekannya?", "jangan-jangan, kalau ku katakan dia akan memutuskan hubungannya denganku?"

Nah, untuk menghentikan keadaan yang dilematis seperti ini, batasan antar teman itu ternyata amat sangat diperlukan. Memang pada awalnya sikap seperti ini cenderung mengarah kepada keegoisan, dan orang-orang akan beranggapan kalau kita ini teman yang tidak bisa diandalkan. Namun sebenarnya ini anggapan yang keliru. Batasan ini dibuat bukan untuk membiarkan teman kita dalam kesusahan, tapi kita ingin membuat teman kita itu menjadi mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.

Berikut ini akan saya utarakan beberapa langkah dalam membuat batasan dalam sebuah hubungan, baik itu teman, saudara, hubungan bisnis, ataupun percintaan. Hal ini saya kutip dari surat kabar harian terbitan India, Hindustan Times tanggal 22 Desember 2005, yang setelah saya baca ternyata sangat membantu kita untuk memecahkan persoalan di atas. Berikut kutipannya yang sudah saya interpretasikan sesuai dengan pemahaman saya:

Ada lima langkah yang bisa di lakukan dalam membuat batasan dalm sebuah hubungan, yaitu:

1. Mulailah membuat batasan
Dalam langkah ini, mulailah memilah hal-hal mana saja yang bisa anda tolerir, sehingga and tidak terjebak pada situasi yang dilematis.

2. Ketahuilah perasaan anda
Terkadang kita merasa bingung, apakah pantas kalau kita marah. Jadi sebelumnya, kita harus mengetahui lebih dahulu apa penyebab kemarahan kita.

3. Tentukan arah batasan anda
Dalam langkah ini, anda juga harus memikirkan waktu dan perasaan anda. Kapan anda memutuskan untuk membantu teman anda atau sekedar membuat perasaannya menjadi tenang. Misalnya: Anda harus pergi lima menit lagi karena anda sudah ada janji dengan relasi anda dan pertemuan ini amat penting. Namun tiba-tiba teman anda menelpon dan ingin mencurahkan segala permasalahan yang sedang dihadapinya. Dalam hal ini anda harus tegas, karena anda juga punya rutinitas yang jauh lebih penting daripada sekedar curhat. Anda bisa mengatakan, "maaf ya, aku harus pergi karena ada pertemuan penting, nanti aja telp lagi." Cenderung kasar memang, tapi apa boleh buat, namanya juga keadaan memaksa.

4. Utarakan batasan itu dengan jelas
Umumnya, masalah yang amat rumit dan sangat sensitif dalam pergaulan adalah apabila menyangkut dengan keuangan. Kalau kita terlalu 'strength', kita dikatakan pelit, tapi kalau gak malah kita yang di'kadal'in. Biasanya ini terjadi dalam masalah hutang-piutang. Misalnya: Teman anda meminta pinjaman pada anda sebesar Rp. 500.000,-. Ketika anda memberikan pinjaman, anda harus mengatakan dengan jelas kapan hutang tersebut harus dibayar. "Aku berikan pinjaman, tapi dengan syarat kamu harus melunasinya dalam tempo satu bulan." Atau dalam kasus lain, ada teman anda yang membutuhkan tumpangan tempat tinggal untuk satu bulan. Anda boleh saja membantunya, bahkan harus karena anda temannya. Namun, anda juga harus memberikan tenggang waktu yang jelas. "Kamu boleh tinggal di tempatku dalam sebulan ini sambil kamu mencari tempat tinggalmu yang baru, tidak lebih." Terlihat arogan memang, tapi dengan cara ini,anda bisa mendidik teman anda agar lebih bertanggung jawab dengan kehidupan pribadinya, tidak tergantung pada orang lain.

5. Bersikap tegaslah.
Dalam membuat batasan, anda harus konsisten dengan batasan yang telah anda tetapkan. Anda yang membuat peraturan, dan anda jugalah yang harus konsisten dengan peraturan yang anda buat. Misalnya: Kemudian pada waktu yang telah ditentukan dia membayar pinjamannya,namun hanya sebesar Rp. 300.000,-. Lalu dia ingin pinjam lagi sebesar Rp. 100.000,-. Anda harus mengatakan 'tidak', dan pasti teman anda akan mengatakan, "ayolah, pinjamin aku seratus ribu aja, aku ada keperluan penting nih. Kalau kamu memang perduli sama pertemanan kita, kamu pasti minjamin." Anda jangan terpengaruh denga perkataan teman anda ini. Anda harus tetap mengatakan 'tidak', bukan karena anda tidak perduli dengannya, namun karena anda sangat perduli makanya anda berbuat demikian. Karena kalau anda memberikannya, anda akan membuatnya terjerumus dalam hutang yang semakin banyak, dan mungkin dia akan kesulitan membayarnya.

Demikianlah kelima langkah yang bisa diterapkan dalam membuat batasan dalam pergaulan. Semuanya berpulang kepada pembaca, apakah anda setuju atau tidak. Namun menurut pendapat saya, walaupun terkesan arogan dan egois batasan itu amat diperlukan walaupun saya sendiri juga sulit untuk menerapkannya. Tapi segala sesuatu itu harus dicoba kan, bagaimana dengan anda?



Selanjutnya...
Scholarship Blog International Scholarships

 

Sunday, December 25, 2005

Obrolan: Kopi dan Terasi

Kopi dan Terasi, Apa Hubungannya?
Oleh: Yunita Ramadhana

Seperti kita ketahui, kedua kata di atas (kopi dan terasi) sama sekali tidak saling terkait baik dari segi bentuk maupun rasa. Namun ada hal yang menurut saya sangat lucu mengenai kopi dan terasi ini, dan hal itu akan berusaha saya sampaikan dalam bentuk obrolan santai. Bagi yang berminat ingin mengetahui ada apa sih sebenarnya antara kopi dan terasi, apa ada hubungannya antara kopi dan terasi, silahkan baca obrolan santai di bawah ini.

Hal ini bermula ketika salah seorang teman saya ingin membuat nasi goreng untuk sarapan kami. Salah satu teman saya, sebut saja namanya si A, meminta terasi yang dititipkannya kepada teman saya yang lain, sebut saja si B. Hari itu Rabu pagi tanggal 21 Desember 2005. Dua orang teman saya, si A dan si C yang kebetulan satu kampus, akan berangkat kuliah. Namun tiba-tiba teman saya si B ingin membuat nasi goreng untuk sarapan, karena kami semua pada saat itu sedang kelaparan. Kemudian si A nyeletuk: "Ya bener tuh, aku juga laper. Tapi buatnya pakai terasi dikit, biar lebih legit. Terasinya ada sama kamu kan?" tanya si A kepada si B. Aku dan temenku si C cuma diam aja. Lalu si B menjawab: "Terasi? yang di botol itu terasi toh?" Si A menjawab: "Ya iya. Terasinya dihancurin terus aku masukin ke botol."
Kemudian aku nanya ke si B, "Lho koq heran? emangnya ada apa?" Kemudian sambil tertawa si B menjawab, "Gak, aku kirain itu kopi." Kemudian temenku si C nyambung: "Jadi dah sempat diminum?" Lantas si B berkata, "Belum sih, cuma nyaris." Karena penasaran akupun ikut nimbrung, "Koq nyaris, gimana ceritanya?" Setelah tertawanya selesai temenku si B mulai bercerita. "Gini, waktu itu aku lihat ada botol nescafe di atas meja, wah kebeneran nih ada kopi, pas banget. Karena kedinginan,spontan aja bayangan kopi panas terasa begitu nikmatnya. Kemudian aku panasin air, ku taruh kopi dan gula ke dalam gelas. Setelah airnya mendidih, ku tuanglah air ke dalam gelas. Nah...setelah kutuang aku heran, lho koq bau terasi, darimana asalnya? pikirku sambil terus mengaduk air seduhan kopi tadi. Setelah kucari-cari ternyata baunya datang dari gelasku. Ya ampun, ternyata itu bukan kopi tapi terasi, ya udah kubuang aja." Karena sudah menahan ketawa sedari tadi, aku dan dua orang temanku pun tertawa terbahak-bahak, termasuk si B dengan wajah yang bersemu merah dia pun ikut tertawa.

Setelah kejadian itu aku berfikir, ternyata kopi dan terasi ada hubungannya. Untung saja Tuhan menciptakan kopi dan terasi dengan aroma yang berbeda, bayangin aja kalau sama, bisa-bisa di warkop(warung kopi) pinggir jalan tidak hanya tersedia kopi dan teh panas, tapi juga terasi panas, ha...ha...ha...

Satu tips dari saya buat semuanya, apabila anda terbiasa menggunakan botol sebagai wadah untuk kopi dan terasi, buatlah perbedaan misalnya dengan memberikan label pada botol masing2 dengan tulisan kopi dan terasi, karena kalau tidak, kejadian di atas mungkin berulang kepada anda.

Apabila teman saya yang bersangkutan membaca cerita ini, saya harap jangan marah ya, inikan cuma candaan aja,ok? Esmile...

Selanjutnya...
Scholarship Blog International Scholarships

 

Sunday, December 18, 2005

Cerpen: Balada Cinta Tak Terungkap

Balada Cinta Tak Terungkap
Oleh: Yunita Ramadhana

Dinginnya angin malam membuatku tersadar dari rasa kantuk yang sudah menderaku dari dua jam yang lalu. Kulihat ke arah dinding jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Di sekelilingku sudah tidak ada yang bersuara, ruangan ini terasa amat sunyi. Hanya ada suara jam dinding yang berdetak, ditemani dengan suara tetesan air dari jarum infus yang menggantung disertai dengan detakan alat pendeteksi nadi, dan suara tarikan nafas yang naik turun dari balik masker oksigen. Ku amati tubuh lemah di depanku yang sedang berbaring tak berdaya di atas tempat tidur dimana aku merebahkan kepalaku.

Ku amati tubuh itu dengan penuh rasa haru. Ingin rasanya aku keluarkan semua perasaan yang ada di dadaku, namun apa gunanya? Tubuh itu tak akan bisa bersuara, dia hanya bisa diam tanpa menjawab. Seribu rasa penyesalan berkecamuk di dadaku, seperti bom waktu yang sebentar lagi akan meledak. Ku amati tubuh itu dengan lebih seksama. Tubuh itu, tubuh lemah seorang Sinta, sedang bersusah payah menarik nafas dari balik masker oksigen agar tetap bisa melihat indahnya dunia. Tanpa kusadari, pikiranku pun melayang pada saat pertama kali aku mengenalnya sampai akhirnya semua peristiwa ini terjadi.

Waktu itu pertengahan bulan Juli sedang berlangsung masa orientasi di kampusku. Kebetulan aku menjadi salah satu panitia ospek dimana pada saat itu Sinta baru bergabung di kampusku alias mahasiswi baru. Semuanya berjalan lancar tanpa ada keributan, sampai tiba-tiba dari kejauhan...
“Tolong...tolong...ada yang pingsan nih.” Terdengar suara seorang mahasiswi sedang berteriak minta tolong.
“Ada apa tuh Ton?” tanya Bobi,temanku.
Tanpa menjawab, Aku dan Bobi langsung berlari ke arah teriakan berasal.
“Kenapa ini?” tanyaku. “Capat bantu aku! Bawa dia ke ruang perawatan.
Sesampainya di ruang perawatan, ku baringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Nafasnya terdengar naik turun. Ku sapukan alkohol ke hidungnya, dan syukurlah akhirnya dia sadar juga.
“Kamu kenapa?” tanyaku. “Gak papa kak, mungkin karena belum sarapan,” jawabnya dengan lembut.
“Pantesan. Lain kali sarapan dulu baru pergi,” sahutku. “Sekarang kamu istirahat aja, gak usah ikutan ospek, ntar biar aku yang urus. Oh ya, nama kamu siapa?”tanyaku.
“Sinta kak. Makasih banyak ya kak.”
“Dasar Anton, gak bisa lihat yang bening dikit,” celoteh Bobi.
“Diem lue,” jawabu sambil tersenyum dan melangkah pergi.

Sejak saat itu, Aku dan Sinta semakin dekat. Kami sering pergi dan pulang bareng. Semua teman-teman kami mengira aku dan Sinta pacaran, padahal tidak. Kami memang selalu berbagi dalam hal apapun. Dia selalu mendukungku apabila aku benar dan mengkritikku kalau aku salah, demikian sebaliknya. Tidak pernah ada yang kami sembunyikan, apapun bentuknya, walau masalah yang amat pribadi sekalipun. Sinta sangat berarti bagiku. Aku tidak tahu apa ini cinta atau hanya sekedar rasa sayang kakak pada adiknya. Entahlah.... yang ku tahu hanyalah hari-hariku akan terasa sepi tanpa kehadirannya. Sampai akhirnya Bobi menginterogasiku.
“Ton, sebenarnya kamu itu suka gak sih ama Sinta? Jangan gak jelas gitu. Kalau kamu emang suka, kamu harus milih dia apa pacarmu yang di Bandung, jangan dua-duanya kamu gantung begini, kasihan kan anak orang. Yang gentle dikit lah. Malah aku lihat Sinta itu sayang banget ama kamu, kelihatan koq dari sikapnya ke kamu.”
“Itulah masalahnya Bob. Awalnya rasa sayangku padanya biasa-biasa aja, namun sekarang aku lebih menyayangi Sinta daripada pacarku yang di Bandung. Aku selalu ingin memberikan yang terbaik untuknya dan menjadikannya lebih baik dari sekarang. Aku juga tahu kalau dia itu sayang ama aku, tapi aku gak tahu harus apa. Sementara untuk memutuskan pacarku rasanya sulit, karena keluarga kami sudah terlalu dekat. Aku bingung!”
“Kenapa harus bingung, ikuti aja apa kata hatimu karena yang ku tahu kata hati itu gak akan pernah berbohong. Kalau soal keluarga, kamu ngomong aja baik-baik, aku yakin mereka bakalan ngerti koq. Orang tuakan selalu ingin anaknya bahagia. Percaya deh ama aku.”
“Ok deh, aku akan memikirkannya benar-benar, thanks ya.”
“It’s ok man, that’s what friends are for,” tambahnya. Temanku yang satu ini memang teman yang luar biasa.

Satu minggu sudah berlalu, dan akupun telah memutuskan apa yang akan kulakukan. Kuputuskan untuk pulang ke Bandung untuk menceritakan semuanya. Keputusanku sudah bulat, aku akan memilih Sinta. Tapi hal ini belum kuutarakan padanya karena aku ingin memberikannya kejutan. Ku katakan padanya kalau aku harus ke Bandung karena ada urusan keluarga. Sesampainya di Bandung, kukatakan pada orang tuaku tentang rencanaku. Awalnya mereka menentang, namun setelah ku jelaskan permasalahannya, akhirnya mereka mau mengerti dan mendukungku. Dengan syarat, Ranti (pacarku) dan keluarganya gak keberatan.

Akhirnya aku memberanikan diri untuk menemui Ranti dan keluarganya. Kedua orang tuaku ikut bersamaku. Sama halnya dengan kedua orang tuaku, awalnya orang tua Ranti sangat marah padaku dan memaki-maki aku. Aku maklum, namanya juga orang tua, mereka pasti marah kalu anaknya disakiti. Sementara Ranti hanya diam. Kemarahan mereka mereda setelah ku jelaskan kalau Ranti akan lebih terluka kalau hubungan kami tetap dilanjutkan. Dan tiba-tiba Ranti angkat bicara...
“Pak, Bu, mas Anton benar. Ranti akan lebih terluka kalau mas Anton mengkhianati Ranti. Biar bagaimanapun ini jauh lebih baik. Lagipula, kalau dipaksakan hasilnya tidak akan baik. Tidak akan pernah ada rasa saling sayang yang tulus diantara kami. Biarlah mas Anton bersama yang lain. Bapak dan Ibu kan sudah berusaha menjodohkan kami, namun Tuhan berkata lain, lantas kita bisa apa? Dan buat mas Anton, Ranti ikhlas koq kalau ini semua harus berakhir.”
Aku terkejut dengan apa yang dikatakan Ranti barusan.
“Be...be...benar kamu ikhlas?” tanyaku terbata-bata sambil menatap wanita bijak dihadapanku dengan penuh kekaguman. Sikap bijaksananya inilah yang membuatku menerima perjodohan kami.
“Benar.”
Sekali lagi aku terdiam beberapa saat.
“Terima kasih banyak ya Ran, dan maafin mas kalau keputusan mas menyakiti perasaan Ranti.”
“Ranti gak papa koq mas. Mas gak salah, lagian cinta itu kan hak pribadi setiap orang,” ujarnya sambil tetap tersenyum.
Kemudian aku dan keluargaku pamit pada Ranti dan keluarganya. Aku tak henti-hentinya memohon maaf dan memohon agar hubungan dua keluarga yang sudah terjalin jangan sampai putus. Ku ucapkan ribuan terima kasih pada Ranti yang sudah mau mengerti akan keputusanku. Kemudian Ranti dan keluarganya mengatakan bahwa hubungan keluarga kami akan baik-baik saja, aku tak perlu khawatir.

Dua hari kemudian kuputuskan untuk kembali ke Jakarta karena aku sudah gak sabar lagi ingin menemui Sinta dan mengutarakan isi hatiku. Namun sesampainya di Jakarta, bukannya kabar baik yang kuterima. Maksud hati ingin memberikan kejutan, tapi malah berbalik menjadi keterkejutanku.
“Sintanya ada bik?” tanyaku pada pekerja di rumah Sinta ketika aku sampai di rumahnya.
“Eeh mas Anton. Mbak Sintanya gak ada, kan lagi di rumah sakit Cipto,” jawab si bibi.
“Lho, siapa yang sakit bik?” tanyaku.
“Mas Anton gak tahu toh? Dua hari yang lalu mbak Sinta pingsan dan di bawa ke rumah sakit. Katanya Ibu sih sampai sekarang belum sadar, lagi koma kalau gak salah,” ujar si bibi dengan lugunya.

Tanpa ba-bi-bu lagi, aku langsung beranjak pergi tanpa memperdulikan teriakan si bibi. Tujuanku hanya satu, rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, kulihat orang tua Sinta sedang terduduk lesu tak berdaya di depan ruangan ICU. Dari sinilah awal penyesalan itu datang.
“Ada apa dengan Sinta om, koq tiba-tiba anfal? Waktu saya pergi kemarin sepertinya dia gak papa,” tanyaku pada papanya Sinta. Mereka hanya diam tanpa bisa menjawab, sampai akhirnya kutanyakan sekali lagi, baru mereka menjawab.
“Sinta memang sering seperti ini nak Anton, tapi kali ini yang terparah,” jawab papanya.
“Sering? Ada apa sebenarnya om?”
“Sebenarnya...sebenarnya...” Setelah menarik nafas panjang, papanya Sinta melanjutkan ucapannya. “Sebenarnya Sinta sudah terjangkit Leukimia sejak SMP dulu. Kami sudah membawanya berobat kemana-mana, tapi nihil,” ujar papanya sambil berusaha menahan air mata.
Lututku langsung lemas seketika, jantungku seakan berhenti berdetak. Ini benar-benar kejutan yang amat sangat mengejutkanku. Leu...leu...leukimia? Ya Tuhan, kenapa? Sintaku sayang...sesalku dalam hati. Ku alihkan pandanganku ke dalam ruangan melalui bagian pintu transparan. Kulihat Sinta terbaring dikelilingi dengan berbagai macam alat-alat kedokteran yang entah apa namanya aku tak tahu. Sadarlah Sinta, ujarku dalam hati. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, sadarlah sayangku... Penyesalanku semakin bertambah ketika orang tua Sinta mengatakan padaku kalau selama ini Sinta sangat menyayangiku, namun tak berani mengatakannya dengan alasan penyakit yang dideritanya. Dia hanya bisa mencurahkan perasaannya pada orang tuanya dan pada buku hariannya yang kini sudah berada di tanganku. Orang tuanya yang memberikan.
***
“Nak Anton, bangun, makan dulu. Kamu kan belum makan dari tadi. Dah jam 11 nih.” Terdengar suara seorang wanita memanggilku. Ya ampun...rupanya aku tertidur. Mungkin karena terlalu asyiknya melamun, tanpa sadar aku tertidur.
“Eeh iya tante, ntar lagi aja, masih kenyang, tadi sore dah makan di kampus,” jawabku sambil membetulkan posisi dudukku.
“Ooh ya sudah, tapi kalau dah lapar makan aja, ntar sakit lagi.”
“Iya tante.”
Suasana kembali sunyi seperti semula. Kulihat Sinta masih belum sadarkan diri. Ku tatap dia dengan penuh rasa sayang. Sadarlah Sinta... Ya Tuhan, sadarkanlah Sinta, izinkanlah kami berbagi kasih sayang, izinkanlah aku mengatakan apa yang kurasakan padanya, agar dirinya tahu bahwa aku juga sangat menyayanginya, aku gak mau kehilangan dia, doaku dalam hati. Seandainya aku tidak terlalu lama mengambil keputusan semuanya mungkin tidak akan seperti ini. Seandainya aku mengatakannya lebih awal mungkin aku bisa membuatnya bahagia, bukannya malah membiarkannya menderita menahan perasaannya sendiri sampai akhirnya dia anfal. Ya Tuhan, aku menyesal, aku memang bodoh. Seandainya waktu dapat kuputar kembali... Seandainya... Seandainya... Aku berusaha menahan air mataku. Namun tiba-tiba...
“Om, tante! Sinta bergerak, dia sadar! Saya akan panggil dokter,” teriakku setelah keluar dari ruang ICU. “Apa? Sinta sadar?” kedua orang tua malang itu langsung berlari ke tempat tidur Sinta. Aku pun dengan segera berlari disepanjang lorong rumah sakit untuk memanggil dokter. Aku dan dokter yang menangani Sinta pun kembali ke ruang ICU sambil berlari. Namun ketika dokter memeriksa keadaan Sinta....
“Pak, Bu, nak Anton, maafkan saya,” kata sang dokter sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Apa maksud anda?” tanyaku. “Tadi kami lihat Sinta bergerak.”
“Saya tahu, mungkin itulah saat terakhirnya. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi Tuhan berkata lain, maaf,” ujar sang dokter.
Kami semua terdiam. Kedua orang tua Sinta saling berpelukan sambil menangis karena anak mereka satu-satunya sudah dipanggil yang maha kuasa. Oh Tuhan, tidak! Kenapa harus begini? Tidak, tidak, tidaaaaaaakkkk!!!!!!! Teriakku sambil berlari keluar ruangan. Tak kuperdulikan teriakan orang tua Sinta yang memanggilku. Aku menuju ke tempat dimana sepeda motorku terparkir. Ku hidupkan mesin dan langsung tancap gas tanpa tujuan yang pasti. Di sepanjang jalan aku terus berteriak mengeluarkan semua penyesalan yang ada di dadaku. Sinta maafkan aku... Kalaupun ini harus terjadi setidaknya kamu tahu kalau aku juga mencintaimu dan mungkin kamu akan bahagia walau hanya sebentar, tidak seperti sekarang, ini semua salahku! Tidaaaakkkkk!!!!!teriakku sekali lagi, aku tidak perduli dengan situasi jalan raya yang masih ramai. Semua kenangan itu terlintas dalam pikiranku tanpa terkecuali. Semua candanya, kelembutannya, pengertiannya, kasih sayang yang ditunjukkannya padaku, semuanya...semuanya... Oh Tuhan...alangkah bodohnya aku, kutukku dalm hati. Aku terus melajukan sepeda motorku dengan kecepatan tinggi. Semua rasa penyesalan itu terus hadir secara bergantian dalam kepalaku. Sampai tiba-tiba... “Aaakkhh...” aku dan motorku terguling-guling ke luar jalan raya. Beberapa menit kemudian, aku terbangun. Kulihat masyarakat sudah ramai disekelilingku, tubuhku penuh darah. Namun....dari kejauhan kulihat seseorang mirip Sinta. Aku tidak perduli dengan keramaian disekitarku dan darah di tubuhku. Ku dekati orang itu. Ya ampun...itu memang Sinta!
“Sinta? Ini kamu?” ku peluk tubuhnya dengan erat penuh kerinduan. Tapi Sinta hanya diam. Dia mengajakku pergi dari tempat itu, dan tentu saja aku memenuhi permintaannya. Aku dan Sinta beranjak pergi meninggalkan tempat itu, tempat dimana sekumpulan masyarakat sedang mengerubungi sesosok tubuh yang tergeletak kaku penuh luka sambil bertanya-tanya siapa gerangan pria ini. Dan tak jauh dari tubuh tak bernyawa itu terlihat sebuah sepeda motor yang sudah hancur.

*** T A M A T ***

Selanjutnya...
Scholarship Blog International Scholarships

 

Wednesday, December 14, 2005

Puisi: Hati Lemah Seorang Hawa

HATI LEMAH SEORANG HAWA
Oleh: Yunita Ramadhana

Sesosok adam hadir menjelma
Menyelusup ke dalam relung sukma
Menelusuri ruang demi ruang
Seiring detak jantung yang berdentang


Kekosongan berganti kesenangan
Kehampaan berganti kehangatan
Kesunyian sirna tiada
Kebahagiaan datang berirama

Setiap waktu menjadi berharga
Setiap kata terasa bermakna
Mengalir bagai butiran air
Terasa sejuk bagai salju yang mencair

Inikah anugerah itu?
Anugerah yang tak pernah ku tahu
Yang datang kian merasuk
Bagai anak panah yang menusuk

Wahai Engkau yang maha tahu
Jadikanlah ini takdir akhirku
Takdir indah yang bertahta
Di hati lemah seorang hawa

Thursday, December 08, 2005
New Delhi, INDIA
10.50 pm.



Selanjutnya...
Scholarship Blog International Scholarships

 

Puisi: Asa dan Masa

ASA & MASA
Oleh: Yunita Ramadhana

Di kesunyian malam
Sendiriku dalam diam
Hanya bisa ku menatap
Tanpa bisa tuk berucap


Indahnya langit, bintang dan bulan
Menyibakkan tabir kenangan
Yang tak henti ku kenang
Walau waktu kian menjelang

Senyuman indah tatapan syahdu
Sentuhan hangat membakar kalbu
Akankah lagi dapat ku rengkuh
Kehangatan hati yang kian jauh

Indahkah ini di akhirnya?
Semua terserah pada-Nya
Namun satu yang ku tahu
Ku kan menunggu
Hingga terhentinya putaran waktu

Tuesday, December 06, 2005
New Delhi, INDIA
10.00 pm.



Selanjutnya...
Scholarship Blog International Scholarships

 

Puisi: Kerinduan

KERINDUAN
Oleh: Yunita Ramadhana

Saat hari mulai berlalu
Melayangku ke masa lalu
Kau selalu ada di dekatku
Kapanpun aku membutuhkanmu


Kau menatapku dengan syahdu
Melalui tatapan matamu yang sendu
Kau hibur kegundahanku
Melalui derai tawamu yang lucu

Kini kita terpisah jarak dan waktu
Ku hanya mampu merindumu
Tanpa bisa menatapmu
Tanpa bisa menyentuhmu

Kapankah ini akan berlalu?
Ku hanya bisa menunggu waktu
Tuk berlari ke arahmu
Memelukmu...melepas kerinduanku

Especially for:
My best friend who misses someone that he loves very much.

New Delhi, November 29, 2005
JMI, New Delhi, INDIA
Around 12.30 pm.



Selanjutnya...
Scholarship Blog International Scholarships

 

Tuesday, December 13, 2005

Cerber: Psikopat dan Perpustakaan (1)

PSYCHOPATH AND LIBRARY (1)
By: Yunita Ramadhana

Tik...tik...tik...
Kudengar suara air menitik di atas atap gedung. Ah sial...!pikirku. Kenapa hujannya harus turun sekarang, apa gak bisa sebentar lagi. Malah tugasku belum selesai, ‘dead line’ semakin dekat. Aku harus segera pulang sebelum hujan bertambah deras, dan semakin larut. Aku tidak berani berlama-lama di sini. Dasar emang lagi sial, tiba-tiba listrik di perpustakaan ini mati, menambah seramnya suasana yang memang udah seram dari awalnya. Come on Joe, hurry up!pikirku. Benahi semua bukumu dan pergi dari tempat ini.


Akupun terburu-buru membereskan semua bukuku dan segera beranjak dari tempat dudukku menuju pintu keluar. Sambil berjalan ke arah gerbang utama kampusku, aku kembali teringat ke cerita salah satu temanku satu minggu yang lalu, satu bulan semenjak pertama kali menginjakkan kaki di salah satu kampus di kota kembang ini.
“Hi, kamu anak baru ya? Kenalin nama saya Anti, kamu?”tanyanya. Hari itu tanggal 17 Juli 2003, tepatnya jam 7 malam di perpus (red: perpustakaan), seorang mahasiswi mendatangi tempat dudukku sambil memperkenalkan diri.
“Ya, namaku Joyce, biasa dipanggil Joe,”jawabku.
“Ooo... fakultas apa?”
“Fakultas Sastra.”
“Sama donk. Semester berapa?”
“Semeter III.”
“Berarti kamu juniorku, aku semester V. BTW, kamu pindahan darimana?”
“Dari Surabaya,”jawabku singkat.
“Lagi buat tugas ya?”
“Gak, hanya cari bahan buat presentasi besok, dah selesai koq.”
Kemudian, aku membenahi semua buku dan alat tulisku.
“Mau pulang sekarang? Bareng yuk,” ajaknya.
“Ya nih, ntar kemalaman susah dapat bis.”
Aku dan Anti, teman baruku, melangkah keluar dari perpus menuju gerbang kampus.
“Aku perhatikan kamu rajin sekali ke perpus, sampai malam lagi, hobi baca ya Joe?”
“Ya, aku memang suka baca dari kecil. Kenapa?”
“Gak apa-apa sih. Tapi, diantara semua mahasiswi di kampus ini, khususnya anak baru, hanya kamu yang berani berlama-lama di perpus sampai malam hari.”
“Memangnya ada apa? Apa ada masalah?”tanyaku. Tanpa terasa kami sudah sampai di halte bis.
“Gak ada sih, tapi... Wah bisku sudah datang nih, see you...”
“Hey tunggu, tapi apa?”

Kulihat Anti sudah masuk ke dalam bis. Tak berapa lama bis yang menuju rumahku pun lewat. Sepanjang perjalanan aku bertanya-tanya, ada apa sebenarnya. Kenapa mahasiswi di kampusku gak ada yang berani di perpus sampai malam, ada apa ini? Ah, mungkin Anti cuma bercanda, berusaha menakut-nakutiku. Sudahlah Joe, jangan terlalu dipikirkan, ujarku dalam hati.

Dasar sial! Sudah hampir satu jam aku berdiri di halte bis, namun tak ada satupun bis jurusan rumahku yang lewat. Hujan turun semakin deras. Tiba-tiba sebuah sedan melintas di depanku dan berhenti mendadak kemudian mundur ke arahku. Kaca mobil dibuka dari dalam.

“Hi Joe, baru mau pulang? Ayo bareng, ntar aku anterin. Ayo masuk, hujannya makin deras nih.”
“Eh Anti. Gak usah, ntar lagi bisnya lewat koq.”
“Sudahlah, ayo buruan!gak usah sungkan, ayo!”
Pintu mobil terbuka. Ya sudahlah pikirku, hari juga dah tambah larut.
“Apa kabar Anti?”tanyaku di dalam mobil. “Dah lama gak kelihatan.”
“Ya nih, dah satu minggu ini aku gak ke kampus. Aku pergi ke Yogya karena ada sepupuku yang mau nikah, ya sekalian menghilangkan kejenuhan, boring belajar terus.”
“Ooh, asyik donk!”
“Ya begitulah. Di depan belok apa terus nih Joe?”
“Di depan belok kiri, lalu terus. Simpang lampu merah yang ketiga belok kanan, lurus. Rumahku yang pagar biru di sebelah kiri no.52.”
“I’ll get it!”
Dalam perjalanan, pikiranku kembali ke satu minggu yang lalu, ke cerita Anti yang masih mengambang.
“An, aku mau nanya nih.”
“Tanya apa?”
“Satu minggu yang lalu kamu pernah bilang hanya aku yang berani pulang malam dari perpus. Emangnya ada apa?”
Anti terdiam tanpa bisa menjawab pertanyaanku. Cukup lama ia terdiam sampai akhirnya aku menegurnya.
“Anti, kenapa?”
“Eh...anu...eh...gak ada apa-apa koq. Aku hanya nanya aja, biasanya cewek kan takut pulang malam, itu aja koq.”
“Ehm...”
Hanya karena itu? Apa iya? Aku rasa ada yang disembunyikan oleh seniorku yang satu ini, gambaran itu terlihat jelas dari pancaran matanya yang berusaha menutupi sesuatu. Baiklah, pikirku, aku akan berusaha mencari jawabannya sendiri.
“Berhenti Anti, ini rumahku, kita dah nyampe.” Cii...t, terdengar suara ban mobil yang berhenti mendadak.
“Oops, sorry Joe, aku ngelamun.”
“Gak apa-apa,”jawabku. “Kamu gak mampir dulu, minum teh sambil menghangatkan badan, lagian hujankan sudah berhenti.”
“Lain kali aja Joe, dah malam nih! Dag....”
“Ok deh, thanks a lot ya. Dag....”
Aku berjalan menuju pintu rumahku sambil memikirkan apa gerangan yang Anti sembunyikan.

Keesokan harinya...
Kring...kring...kring...
Suara alarm berbunyi membangunkanku. Ya ampun, aku kesiangan! bisa telat ke kampus nih. Aku bergegas ke kampus ke kamar mandi, kemudian bersiap-siap berangkat ke kampus. Malah jalanan pakai acara macet lagi, bisa gak masuk kelas nih. Setelah beberapa lama akhirnya aku sampai di gerbang kampus. Wah gawat!dah telat 10 menit nih! Aku berlari-lari menuju kelasku. Sesampainya di kelas... Lho koq sepi? Anak-anak yang lain pada kemana? Hanya ada beberapa orang di dalam kelas.
“Pagi Hani,” sapaku. “Koq sepi? emangnya pak Sastro gak masuk?”
“Pagi Joe. Pak Sastro gak masuk, katanya sakit.”

(Bersambung...)

Lihat juga site ini:
1. Cerber 2
2. Cerber 3
3. Cerber 4
4. Cerber 5



Selanjutnya...
Scholarship Blog International Scholarships

 

Cerber: Psikopat dan Perpustakaan (2)

PSYCHOPATH AND LIBRARY (2)
By: Yunita Ramadhana

“Ooh... Han, aku boleh nanya gak?” Pikiranku kembali ke percakapanku dengan Anti tadi malam.
“Boleh, mau nanya apa?”
“Kamu kenal Anti anak semester V gak?”
“Oh...mbak Anti. Kenal, kenapa?”
“Satu minggu yang lalu aku ketemu dengan dia di perpus, katanya aku koq berani pulang malam dari perpus, emang ada apa sih Han?”
Hani terdiam beberapa saat.


“Han???”
“Ya...eh...eh...”
“Ada apa sih?”
Sambil menarik nafas panjang, Hani mencoba menjawab pertanyaanku.
“Bener kamu pengen tahu?”
Aku menganggukkan kepala sambil berpikir ada apa sebenarnya.
“Kira-kira 3 tahun yang lalu, ada seorang mahasiswi ditemukan meninggal di depan pintu perpus kampus, dengan luka 10 tusukan di sekitar dada dan perut.”
Aku terkejut dan tubuhku tiba-tiba terasa hangat, seluruh bulu kudukku berdiri mendengar cerita temanku ini. Jantungku terasa hampir copot.
“Setelah diselidiki, ternyata mahasiswi tersebut adalah mahasiswi baru dikampus ini.”
“Kamu tahu darimana?”tanyaku.
“Dari senior,”jawabnya.
“Terus?”
“Dan 2 tahun yang lalu terjadi peristiwa yang sama dengan ciri luka yang sama, korban dengan status yang sama yaitu mahasiswi baru pindahan dari Surabaya dan suka berlama-lama di perpus sampai malam. Kemudian peristiwa yang sama terjadi lagi tahun lalu.”
Mahasiswi baru? Pindahan dari Surabaya? Suka ke perpus? Ya ampun, aku kah yang berikutnya? Pikiran itu melintas di kepalaku.
Kami sama-sama terdiam beberapa saat. Aku menarik nafas panjang, sambil berusaha menenangkan detak jantungku yang naik turun tak berirama. Kerongkonganku terasa kering. Sepatah katapun tak keluar dari mulutku. Akupun mengerti tentang apa yang dikatakan Anti satu minggu yang lalu.
“Kenapa Joe, koq diam? Kaget ya?”
“Eh...ah...eh...ya begitulah.”
“Emang kamu belum pernah dengar ceritanya ya Joe?”
“Belum. Trus apa pembunuhnya tertangkap?”
“Sampai sekarang belum. Polisi juga belum bisa menyimpulkan siapa pembunuhnya. Pelakunya terlalu lihai. Polisi menduga pelakunya adalah satu orang yang sama, dan mungkin pelakunya adalah seorang psikopat yang membunuh seseorang tanpa alasan yang jelas.”
“Apa mungkin pelakunya mahasiswa atau mahasiswi kampus ini juga?”
“Gak tahu, mungkin juga sih.”
“Koq mungkin? Apa kalian punya prediksi sendiri?”
“Begitulah. Kebanyakan anak mengira kalau pelakunya adalah Sammy. Kamu tahu Sammy gak?”
“Sammy anak semester VII yang pendiam dan jarang bergaul itu kan?”
“Ya benar.”
“Koq bisa Sammy apa alasannya?”
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh langkah kaki memasuki ruangan. Kulihat teman-temanku masuk dengan terburu-buru, dan dibelakang mereka terlihat pak Samson dengan wajah killernya. Seorang pria yang tak ku kenal, berpostur tinggi, atletis, dan berwajah tampan berjalan mengikuti pak Samson masuk ke dalam kelas. Ruangan menjadi sepi, percakapanku dengan Hani pun tertunda.
“Pagi semua...”
“Pagi pak...”
“Sebelum kita melanjutkan pelajaran, saya ingin memperkenalkan mahasiswa baru di kampus kita. Namanya Soni, dia pindahan dari Jakarta,”ujar pak Samson sembari menunjuk ke arah pria tampan yang tak ku kenal tadi.
“Pagi,” ujarnya sambil tersenyum manis, manis sekali.
“Pagi...” jawab kami.
Semua mahasiswi yang ada di kelas berbisik-bisik dan terus memandang ke arah Soni dengan penuh kekaguman termasuk aku. Memang harus diakui bahwa Soni sangat tampan dan amat menarik, sungguh sempurna. Kemudian dia berjalan mencari tempat duduk kosong dan akhirnya ia duduk di belakangku yang kebetulan tidak ada penghuninya. Pelajaranpun dimulai.

Pukul 12.30, setelah pelajaran usai...
Pak Samson keluar dari kelas, disusul dengan teman-teman yang lain yang sudah gak sabar sedari tadi menunggu pelajaran usai. Kelas pun menjadi kosong, hanya tinggal aku, Hani dan Soni, si tampan.
“Joe, ke kantin yuk, laper nih!”
“Ya duluan aja, ntar aku nyusul. Aku mau ke perpus dulu ngembaliin buku,” sahutku.
“Oh ya sudah, aku duluan ya,” ujar Hani sambil tersenyum ke arah Soni.
“Yoi.”
Akupun segera membenahi buku dan tasku untuk segera beranjak ke perpus. Tapi tiba-tiba...
“Nama kamu Joe ya?” terdengar suara Soni memanggilku dari belakang.
“Ya, sebenarnya Joyce, tapi di panggil Joe.”
“Kamu mau ke perpus? bareng dong. Aku juga mau ke perpus cari buku untuk mengejar pelajaranku yang tertinggal, sekalian kamu bantuin aku. Hitung-hitung nolongin anak barulah, boleh kan?”
“Oh boleh aja, tapi aku juga gak bisa bantu banyak, karena aku juga anak baru disini. Aku pindahan dari Surabaya.”
“Anak baru juga toh? Tapi gak apa-apa lah, yang jelas kamu kan lebih dulu masuk kesini daripada aku, ya kan?”
“Ya sih. Kalau gitu kita sekarang ke perpus, sebelum pelajaran berikutnya dimulai.”
“Ok.”
Kamipun berjalan menuju perpus kampus. Sesampainya disana aku segera mengembalikan buku yang kupinjam, agar aku bisa minjam buku yang baru. Setelah mengembalikan buku, aku dan Soni berjalan ke arah rak buku yang tertata rapi namun tetap kelihatan seram, mungkin karena bangunannya yang berasitektur Belanda tempo dulu. Setelah 15 menit berkutat dengan rak-rak buku, aku menemukan salah satu buku yang ku cari. Sambil membantu Soni mencari buku-buku yang ia perlukan, aku terus mencari satu buku lagi yang sangat penting untuk mengejar ‘dead line’ presentasiku yang tinggal 3 hari lagi, namun sayang tidak kutemukan.

(Bersambung...)

Selanjutnya...
Scholarship Blog International Scholarships

 

Cerber: Psikopat dan Perpustakaan (3)

PSYCHOPATH AND LIBRARY (3)
By: Yunita Ramadhana

“Son, aku tinggal ke depan ya, aku mau nanya soal buku yang belum aku temuin ke pegawai perpus, mungkin dipinjam, karena satu minggu yang lalu aku lihat ada, gak apa-apa kan?”
“Gak apa-apa, ntar kamu balikkan?”
“Ya. Kamu baca aja dulu buku-buku yang aku cariin tadi, buku-buku tersebut cukup koq untuk mengejar ketertinggalanmu, ok?”
“Ok.”
Akupun melangkah ke arah meja depan, tempat peminjaman buku. Langsung kutanyakan kepada pegawai perpus, bu Santi, tentang buku karangan Daniel Jones, An Outline of English Phonetics. Bu Santi mengatakan kalau buku tersebut sedang dipinjam, dan mungkin akan dikembalikan sore ini. Ya ampun kenapa bukunya belum dikembalikan? Sore ini harus kembali lagi ke perpus? Ya ampun... Cerita tentang pembunuhan di perpus yang diceritakan Hani tadi pagi kembali terlintas di kepalaku. Mau gak mau aku harus kembali ke perpus sore ini, karena tanpa buku tersebut bahan buat presentasiku kurang. Aku kembali ke meja dimana Soni membaca buku.


“Gimana? Bukunya bagus kan?”
“Eh Joe, iya nih bagus, tapi sayang aku belum punya kartu perpus, jadi gak bisa pinjam, sayang sekali. Kamu gimana, bukunya ada?”
“Gak ada, lagi dipinjam, katanya sih ntar sore dipulangin. Kalau kamu mau, ntar buku-buku ini aku yang pinjam pakai kartuku lalu kupinjamin ke kamu, mau?”
“Mau sekali, gak ngerepotin kan?”
“Gak lah, kan ntar sore aku memang harus kembali ke sini pinjam buku. Wah gawat! 10 menit lagi ada kelas nih!”
Aku dan Soni tergesa-gesa berjalan menuju kelas.

Sore harinya... pukul 17.00 WIB
Akhirnya pelajaran usai. Aku segera beranjak dari tempat dudukku dan mendatangi meja Soni.
“Son, jadi gak pinjam bukunya?”
“Gak usah deh, aku mau berburu-buru pulang nih, mau anterin mamaku belanja. Ntar aja deh, lagian aku mau buat kartu perpus aja biar gampang.”
“Ok deh kalau begitu, aku duluan ya.”
Aku keluar dari kelas menuju perpus. Cuaca kelihatan mendung, awan hitam berarak di atas langit. Sepertinya mau hujan nih, aku harus cepat. Akhirnya aku sampai ke perpus setelah setengah berlari agar aku tiba lebih cepat. Aku langsung melangkah ke meja bu Santi.
“Gimana bu, bukunya dah dikembalikan belum?”
“Aduh Joe, belum tuh, mungkin ntar lagi sekitar jam 17.30.”
“Emang yang minjam siapa sih bu?”
“Sammy, anak semester VII. Dia rajin minjam buku disini dan biasanya dikembalikan tepat waktu, tunggu aja.”
Sammy? Cerita Anti tadi pagi kembali terlintas di pikiranku. Nunggu sampai 5.30 sore? Setengah jam lagi? Ya ampun...malah hari mau hujan lagi. Ya sudahlah, lagian di perpus ini juga banyak orang. Aku menunggu sambil membaca buku dan mempersiapkan data untuk presentasiku. Tanpa terasa kulihat jam, wah sudah jam 6! Kulihat keluar jendela hujan mulai turun. Kubalikkan badan ke arah meja bu Santi. Kulihat seorang pria sedang berbicara dengan bu Santi sambil mengembalikan buku. Wajahnya tidak terlalu jelas karena tertutup topi dan kebetulan tempat dudukku jauh dari meja bu Santi. Tiba-tiba dia menatap ke arahku. Matanya yang bersinar menatapku dengan tajam, seperti mata elang yang hendak memakan mangsanya. Jantungku langsung berdebar kencang. Aku langsung membalikkan badan. Ya Tuhan...aku harus segera keluar dari tempat ini, tapi...ya hujannya tambah deras, gimana mau pulang, malah orang tinggal sedikit di sini. Ketakutan menjalar ke sekujur tubuhku, aku kah korban berikutnya?pikirku dalam hati. Tenang Joe belum tentu dia pelakunya, hiburku dalam hati.
Kupalingkan muka ke meja bu Santi. Alhamdulillah, dia udah gak ada. Tapi ketika mataku tertuju pada satu meja, kulihat sesosok pria bertopi lagi membaca buku. Itu dia, Sammy! Ya Tuhan, tolonglah hambamu ini, doaku dalam hati. Dengan berat, aku melangkah ke meja bu Santi.
“Kenapa Joe? Koq pucat?”
“Gak apa-apa bu, mungkin kedinginan,”jawabku. Setakut itukah aku? Sampai-sampai wajahku menjadi pucat pasi.
“Oh ya, nih bukunya, tadi barusan dikembaliin, tuh dia orangnya,”sahut bu Santi sambil menunjuk ke arah Sammy yang sedang asyik membaca buku.
“Kalau gitu saya pinjam sekarang bu, dah malam nih, mau pulang,”jawabku sekenanya sambil menyerahkan kartuku.
“Ok. Tapi diluarkan masih hujan, sebentar lagi aja tunggu agak reda,”ujar bu Santi sambil mengisi kartu perpusku.
Aku diam tak menjawab. Menunggu? Satu menit saja seperti satu abad mengingat ada sosok seorang Sammy di dalam gedung ini. Tapi ya sudahlah, aku akan tunggu kira-kira 15 menit, kalau gak reda juga aku harus pulang sebelum menyesal.

15 menit telah berlalu...
Hujan sudah mulai reda. Akupun bergegas pulang. Kulihat Sammy masih asyik dengan buku-bukunya. Setelah permisi dengan bu Santi, akupun melangkah keluar perpus. Sambil kedinginan, aku menerobos hujan yang kelihatannya akan deras lagi. Tiba-tiba aku merasa ada sepasang mata yang mengintaiku, dan kudengar langkah kaki mengikutiku dari belakang. Dari sudut mataku, samar-samar kulihat sosok tinggi bertopi berjalan tepat di belakangku. Kupercepat langkahku dan akhirnya aku sampai di gerbang kampus, dengan tergesa-gesa aku berjalan menuju halte bis yang kebetulan ramai orang. Kulihat ke belakang, sosok pria bertopi itu ternyata Sammy! Ya ampun...benarkah dia pelakunya? Dari kejauhan kulihat sedan hitam yang sepertinya kukenal melaju ke halte dan berhenti tepat di depanku.
“Hi Joe, ayo naik, dah malam nih,”Anti berteriak ke arahku sambil membuka pintu mobil.
“Hi An,”akupun melangkah masuk ke dalam mobil. Alhamdulillah, pikirku.
“Dasar anak rajin, pasti dari perpus ya kan?”
“Ya, pinjam buku buat presentasi.”
Kami terdiam untuk beberapa saat.
“An,”sela ku untuk memecah keheningan. “Aku dah tahu koq alasannya kenapa kamu heran aku berani pulang malam dari perpus. Hani teman sekelasku yang cerita.”
“Oh bagus deh. Dia cerita semuanya?”
“Semuanya. Dari cerita 3 tahun yang lalu sampai sekarang, sekalian sama yang diduga jadi pelakunya. Sammy kan yang kemungkinan jadi pelakunya?”
“Sammy? Ya sih kebanyakan orang menduga bahwa Sammy pelakunya karena di dekat dan sering terlihat bersama dan akrab dengan ketiga korban. Sammy itu anak pintar, rajin, suka menolong, jadi banyak mahasiswa/i yang sering bertanya dan dekat dengannya. Semenjak rumours itu beredar, tidak ada lagi yang berani dekat dengannya.”

(Bersambung...)

Selanjutnya...
Scholarship Blog International Scholarships

 

Cerber: Psikopat dan Perpustakaan (4)

PSYCHOPATH AND LIBRARY (4)
By: Yunita Ramadhana

“Oh...begitu ceritanya.”
“Kamu kenapa Joe, koq pucat amat?”
“Heh? Gak, mungkin karena kedinginan,”jawabku. Tidak kuceritakan pada Anti kalau aku diikuti oleh Sammy. “Kamu percaya gak kalau Sammy pelakunya?”
Anti diam, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Tiba-tiba...
“Joe, dah nyampe nih. Gak turun?”tanyanya.
“Udah nyampe ya? Makasih banyak ya An. Oh ya besok kita pulang bareng ya, gak ngerepotin kan?”
“Tentu gak lah. Ok besok ku tunggu ya, dag...”
“Dag...”


Senin, 17 September 2003...
Pagi yang cerah, angin berhembus perlahan menyentuh kulitku. Suasana kampus kelihatannya sudah ramai. Hari ini aku tiba lebih cepat. Pagi yang indah dan menyenangkan, ucapku dalam hati. Aku senang sekali karena sudah satu minggu ini tidak ada yang mengikutiku. Mungkin benar pelakunya bukan Sammy.

“Joe!”terdengar suara lantang memanggilku dari kejauhan.
“Hi Son,” kulihat Soni setengah berlari ke arahku.
Sudah hampir satu minggu ini hubunganku dengan Soni bertambah dekat. Dia sering menemaniku di perpus, jadi aku tidak perlu khawatir lagi kalau aku harus pulang malam dari perpus. Soni sudah seperti sahabat bagiku, sama halnya dengan Hani dan Anti, seniorku.
“Tumben cepat Joe, biasanya gak pernah sepagi ini.”
“Ya, tadi aku bangun lebih awal dan jalanan juga belum ramai, jadi aku cepat nyampenya.”
“Eehm... Ntar ke perpus lagi Joe?”
“Iya nih, cari bahan buat paper. Bareng yuk! Paper kamu juga belum selesai kan?”
“Iya sih, tapi sepertinya hari ini aku gak bisa deh, kalau kamu mau, aku bisa jemput kamu ntar jam 7 malam, karena aku harus antarin mama ke Mall dekat sini, mau?”
“Maunya sih mau, tapi apa gak ngerepotin?”
“Ya gak lah, kamu kan dah banyak bantuin aku, so?”
“Ok deh, ntar aku tunggu jam 7.”
Tanpa terasa kami sudah sampai ke pintu kelas dan seperti biasa terdengar celotehan teman-temanku ketika melihat aku dan Soni berjalan beriringan ke dalam kelas.
“Suit...suit... tambah dekat aja nih Joe?”celoteh salah satu temanku. Aku hanya tersenyum simpul.
“Hi Han,” ku sapa Hani yang sedang membaca buku.
“Hi Joe, makin dekat aja nih kalian berdua.”
“Ah Hani, kamu koq ikut-ikutan yang lain, biasa aja koq.”
“Ya luar biasa juga gak apa-apa,”jawab Hani sambil tersenyum.
“Ya Han, gak ada yang special, Joe hanya bantuin aku mengejar pelajaran, that’s it,” Soni mendukung ucapanku.
“Ya deh, percaya-percaya...”sambung Hani.
Terdengar suara langkah dari luar, kulihat jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Pasti bu Dewi, pikirku. Dan ternyata...
“Pagi semua...”sapa bu Dewi sambil memasuki ruangan.
“Pagi bu...”
Percakapan antara aku, Hani dan Soni pun usai, karena pelajaran akan segera dimulai.
Akhirnya tepat jam 2.30 sore semua pelajaran usai. Aku punya banyak waktu di perpus. Akupun beranjak menuju perpus untuk menyelesaikan paperku. Ditengah perjalanan aku bertemu dengan Anti.
“Joe! Mau ke perpus?”
“Hey An, iya nih. Mau ke perpus juga?”
“Iya nih. Aku dengar-dengar di kelasmu ada anak baru, namanya Soni dan sekarang lagi dekat sama kamu, tul gak?”
“Begitulah. Dia minta bantuanku tuk mengejar ketertinggalannya. Kalau kamu mau kenal, ntar aku kenalin, jam 7 dia mau jemput aku.”
“Boleh deh, sekalian aku mau lihat orangnya yang mana.”
“An, kamu belum jawab pertanyaanku satu minggu yang lalu.”
“Yang mana?”
“Soal pelaku pembunuhan itu, kamu percaya gak kalau Sammy pelakunya?”
“Ooh yang itu.” Anti terdiam beberapa saat.
“Eeh Joe, dah nyampe nih.” Lagi-lagi percakapanku dan Anti pun tertunda.

Di dalam perpus terlihat banyak orang sedang sibuk membaca buku. Kelihatannya semua meja sudah penuh, tapi oops, ada meja kosong di sudut sana, tempat dimana Sammy duduk satu minggu yang lalu. Aku hapal betul tempatnya. Tapi ya sudahlah daripada gak ada. Aku dan Anti pun melangkah kesana. Suasana perpus lengang, karena jika ada yang bersuara sedikit saja akan langsung dikeluarkan dari perpus. Lantaran terlalu asyik membaca dan mencari buku, tanpa kusadari jam sudah menunjukkan pukul 6.50 malam. Ya ampun, hampir lupa aku, ntar lagi Soni kan mau jemput.
“Anti, dah selesai belum? Pulang yuk, ntar lagi Soni mau jemput nih, katanya mau dikenalin?”ujarku setengah berbisik ke Anti.
“Udah koq. Let’s go home.”jawab Anti sambil membereskan buku-bukunya.
Kami pun melangkah keluar perpus. Diluar hari sudah gelap.
“An, kamu percaya gak soal rumours tentang Sammy?”tanyaku menyambung percakapan kami yang tertunda.
“Heh? Soal Sammy?”
“Percaya gak?”
“Mmm...waktu pertama kali mendengar cerita itu aku gak percaya, habis anaknya baik sih. Tapi setelah kupikir-pikir dan kutelaah lebih lanjut, aku mulai mempercayainya,”jawab Anti. Kemudian ia diam sejenak.
“Jadi kamu percaya?”
Tiba-tiba dari kejauhan, terlihat seorang pria berjalan mendekati kami. Awalnya kukira Soni, tapi ternyata...Sammy!!! Dadaku langsung berdebar kencang. Dia melewati kami, sambil menatap tajam ke arahku sambil menatap anting Anti yang hanya sebelah.
“An, Sammy tuh! Kamu lihat gak?”
“Ya, aku lihat.”
“Trus, kamu percaya gak?”
“Setengah percaya setengah gak, tapi setelah malam itu....”
“Joe,”suara seseorang berteriak ke arah kami.
“Hi Son,”jawabku setelah melihat wajahnya. “Son, kenalin ini senior kita, Anti, yang pernah aku ceritain ke kamu.”
“Anti,”sambil menatap Soni dengan seksama.
“Soni. Ini Anti yang buat kamu penasaran soal pembunuhan tak terungkap di kampus ini kan?”
“Ya, malah sepertinya dia tahu siapa pelakunya.”

(Bersambung...)


Selanjutnya...
Scholarship Blog International Scholarships

 

Cerber: Psikopat dan Perpustakaan (5)

PSYCHOPATH AND LIBRARY (5)
By: Yunita Ramadhana

"Pelakunya Sammy kan?"tanya Soni.
"Belum tentu sih,"jawabku. "An, tadi omonganmu belum selesai. Setelah malam itu kenapa?"
"Heh? Gak apa-apa koq. Aku pulang duluan ya Joe, kan dah ada yang ngantarin,"sahutnya sambil melirik ke Soni.
"Gak bareng aja?"
"Gak, aku bawa mobil koq."
"An, antingmu keren amat, trend anak gaul ya?"
"Ya nih, jadi malu. Biar gak kalah ama anak-anak ibukota,"ujar Anti dengan wajah bersemu merah. "Ok, aku duluan ya, dag..."
Anti melangkah ke arah parkiran mobil dan Soni terus menatap ke arah Anti tajam tanpa kedip.


"Kenapa? Naksir ya?"tanyaku.
"Cantik juga, bolehlah."
"Dasar cowok, gak bisa lihat yang bening dikit. Kalau emang naksir, ntar aku sampein salamnya."
"Boleh...boleh..."
"Huh, dasar!"
Aku dan Soni masuk ke dalam mobil. Mobil melaju dengan kecepatan sedang menerobos gelap dan dinginnya malam ditemani dengan cahaya bintang dan bulan. Akhirnya kami tiba di rumahku. Soni kuajak mampir, tapi dia menolak karena harus jemput mamanya ke Mall dekat kampus.

Selasa, 18 September 2003...
Pagi ini kampus kelihatan sunyi, tidak seperti biasanya. Kulihat keramaian di papan pengumuman fakultas Sastra. Ada apa ya?pikirku. Ku percepat langkahku menuju papan pengumuman. Ya Tuhan...Anti? Gak mungkin, semalam dia masih sehat-sehat aja. Di papan tercantum bahwa Anti ditemukan meninggal di kamarnya dengan luka tusukan di perut. Di dekat mayatnya ditemukan kertas dengan tulisan "ANTING...S..." tulisan terputus setelah huruf 'S'. Anti tidak sempat menuliskan pelakunya. Aku berasumsi kalau huruf 'S' adalah inisial pelakunya. Kutinggalkan papan pengumuman, sambil terus memikirkan siapa pelakunya. Apa mungkin? Sammy? Aku kembali teringat peristiwa kemarin malam dimana kulihat Sammy terus memperhatikan anting Anti. Ya ampun...gak salah lagi. Tapi mana buktinya?Di surat tersebut tertulis huruf 'S' dan itu belumtentu nama pelakunya. Tapi kalau Sammy pelakunya kenapa gak di perpus? Bukankah selama ini selalu di perpus? Trus Anti kan bukan anak baru? Lantas luka tusukan itu? Apa karena dia juga asli Surabaya? Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalaku, Siapakah dia? Kepalaku langsung berdenyut memikirkannya. Apa mungkin karena Anti tahu sesuatu yang belum sempat dikatakan padaku. Aku teringat perkataan Anti kemarin malam, "Setelah malam itu..." . Pasti, pasti karena Anti tahu sesuatu.
"Joe,"terdengar suara Soni memanggilku.
"Soni,"jawabku seadanya.
"Kamu dah dengar kabar belum Joe soal Anti?"
"Udah. Anti yang malang, padahal kamu kan..." aku menghentikan perkataanku sambil melihat ke arah Soni yang tertunduk lemas.
"Gak apa-apa lah, mungkin memang sudah nasibku.
"Jangan sedih, masih banyak yang lain koq," jawabku berusaha menghibur Soni, padahal jauh di dalam hatiku aku amat sedih kehilangan sahabat sebaik Anti.
"Thanks Joe," jawab Soni sambil tersenyum terpaksa.
Sementara di kejauhan sana terlihat sosok pria tinggi bertopi sedang menatap tajam ke arah Joe.

Selasa, 25 September 2003...
Satu minggu telah berlalu semenjak kematian Anti. Polisi juga belum bisa menemukan siapa pelakunya, benar-benar seorang psikopat. Aku tetap berasumsi bahwa pelakunya adalah Sammy, karena sudah satu minggu ini dia gak kelihatan. Soni juga dah satu minggu gak masuk kelas, mungkin dia masih shock, lagipula dia juga harus ke luar kota menghadiri acara pernikahan sepupunya. Hari-hariku pun terasa sepi. Sambil mengusir sepi, kuisi hari-hariku dengan membaca buku di perpus, lagian Sammy juga gak kelihatan, jadi tidak ada yang perlu di takutkan.
Hari ini sudah hampir jam 6 sore, tanpa sadar aku telah berada di perpus selama 3 jam karena dosen yang seharusnya masuk berhalangan hadir. Wah! sudah jam 6, aku harus pulang. Tapi aah...tanggung! ringkasanku tinggal sedikit lagi, klu bisa sekarang harus selesai, pikirku dalam hati. Satu jam telah berlalu, masih ada satu buku lagi yang harus kuringkas, ya sudahlah dipinjam saja, sudah jam 7! di luar mulai semakin gelap. Aku melangkah ke meja bu Santi dan menyerahkan kartu beserta buku yang akan kupinjam. Aku melihat ke sekeliling ruangan, hanya tinggal 5 orang. Mataku terhenti pada satu meja di sudut ruangan, kulihat sosok yang amat kukenal, kubuka mataku lebar-lebar...ya Tuhan! I...i...i...itukan Sammy! Di...di...dia...sudah datang! Gimana nih? Kucoba tenangkan diri. Tenanglah Joe, kamu kan dah mau pulang, pikirku dalam hati.
"Joe! Kamu lihat apa, koq serius amat? Dari tadi saya panggil-panggil gak jawab," perkataan bu Santi memecah lamunanku.
"Eh ya...gak lihat apa-apa koq. Ada apa bu?"
"Gak, saya mau tanya hari ini tanggal berapa ya?"
"Oh, tanggal 25 September,"jawabku.
What? Tanggal 25 September! Tiba-tiba aku tersadar. Tanggal 25 September? Itu kan...itu kan...tanggal dimana setiap pembunuhan terjadi. Ya Tuhan...tolonglah hambamu ini, selamatkan nyawa hamba, jangan sampai hamba menjadi korban berikutnya, doaku dalam hati.
"Joe, nih bukunya, minggu depan harus sudah dikembalikan," lagi-lagi omongan bu Santi memecah lamunanku.
"Eh...eh...iya bu. Saya pulang dulu bu."
"Hati-hati ya..." Kulihat bu Santi menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kulangkahkan kaki secepat mungkin. Oh Tuhan...andai aku punya sayap aku akan terbang agar cepat tiba di rumah, gerutuku. Kupercepat langkahku tanpa memperhatikan kanan-kiri, dan tiba-tiba... Buk!!!
"Soni?" seruku kaget. Rupanya yang kutabrak tadi adalah Soni. "Koq...koq...kamu ada di sini?" tanyaku terbata-bata. "Ka...ka...kapan pulangnya?"
"Aku pulang tadi jam 5 sore. Aku telp ke rumahmu, katanya kamu belum pulang, jadi aku langsung kesini aja karena kupikir kamu pasti di perpus. Kamu kenapa? Koq pucat?"
"A...a...a...ada Sam...Sammy di perpus," kulihat ke belakang, Sammy sudah keluar dari perpus. "Dia sudah keluar, ayo cepat jalan!" perintahku.
"Tenang Joe, kan ada aku."
Aku gak perduli dengan apa yang Soni katakan, pikiranku sudah dipenuhi dengan ketakutan. Kutarik tangannya dan cepat berjalan ke arah parkiran mobil. Kulihat dari sudut mataku Sammy terus mengikuti kami dan langkahnya pun semakin cepat. Syukurlah, akhirnya kami sampai ke parkiran mobil. Aku dan Soni segera masuk ke dalam mobil. Hari sudah bertambah gelap dan tiupan angin menambah ketakutanku yang sudah dari tadi berkecamuk didiriku. Kulihat Sammy berdiri terpaku melihat aku dan Soni sudah di dalam mobil. Rasain! Kali ini loe gagal! pikirku. Got you!

Keesokan harinya, 26 September 2003...
Suasana kampus lengang. Tidak ada mahasiswa yang terlihat duduk-duduk di taman kampus. Dari jauh terlihat keramaian di fakultas Sastra, tepatnya di depan papan pengumuman. Setiap orang yang telah melihat pengumuman itu berkata: Joe yang malang... Kasihan ya Joe, padahal dia anak baik-baik dan pintar... How poor you are, Joe... Di papan pengumuman tertulis:
Seorang mahasiswi bernama Joe Anggraini (Joe), mahasiswi semester III, ditemukan tewas di depan pintu perpus kampus, dengan luka 10 tusukan di sekitar dada dan perut.
Polisi pun kembali meramaikan suasana kampus untuk memeriksa TKP sambil menanyai bu Santi sama halnya seperti 3 tahun yang lalu. Hani, sahabat Joe terlihat sedih dengan kematian Joe dan tak henti-hentinya menangis.

Sementara itu, di salah satu ruangan kosong di fakultas Sastra, terlihat dua sosok pria; yang satu mengenakan topi sesuai dengan kebiasaannya, dan yang satunya lagi berpostur tinggi, atletis dan berwajah tampan. Pria bertopi terlihat ketakutan terduduk di pojok ruangan dengan ekspresi wajah penuh penyesalan, sementara pria yang satunya lagi menatap tajam ke arah si pria bertopi seolah-olah akan memakannya hidup-hidup.

***SEKIAN***

JMI-New Delhi, INDIA
Senin, 21 Nopember 2005

PERTANYAAN: Siapa pembunuhnya? Tebak dan berikan alasannya!



Selanjutnya...
Scholarship Blog International Scholarships

 

Puisi: Teman

TEMAN
Oleh Yunita Ramadhana

Teman...
Sedang apa dirimu di sana
Apakah kau masih ingat padaku?
Dapatkah kau melihatku?


Teman...
Masih ingatkah kau
Akan masa kecil kita?
Masa yang penuh keceriaan
Dilewati dengan canda dan tawa

Teman...
Ingatkah kau
Akan masa sulit kita?
Masa disaat persahabatan kita diuji
Masa dimana aku butuh dukunganmu
Kau selalu ada menemaniku
Membiarkanku bersandar di bahumu

Teman...
Kini masa telah berganti
Masa-masa indah itu telah berlalu
Berganti dengan masa-masa yang amat kubenci
Masa dimana aku hanya bisa
Melihatmu dalam fantasiku
Tanpa bisa melihat dan bersandar di pundakmu

Teman...
Dihariku yang sepi ini
Hanya satu hal yang bisa kukatakan
Semoga kau bahagia
Di duniamu yang baru

Wednesday, Nov 9, 2005
New Delhi, India
Jamia Millia Islamia University
MA (P) English
Room no. 115
around 11.30 a.m


Selanjutnya...
Scholarship Blog International Scholarships

 


:: F R I E N D S ::
|| Purwarno Hadinata || Rozio || A. Fatih Syuhud || Rizqon Khamami || A Qisai || Lukman Nul Hakim|| Zamhasari Jamil|| Rini Ekayati|| Najlah Naqiyah || Zulfitri || Fadlan Achdan|| Tylla Subijantoro|| Mukhlis Zamzami|| Edward Ott|| Thinley|| Ahmed|| Dudi Aligarh|| Irwansyah Yahya|| Ikhsan Aligarh|| Zulfikar Karimuddin || Zamhasari || Pan Mohamad Faiz || Bayu || Asnadi Hasan || Umi Kalsum || Erdenesuvd Biraa || Andi Bagus || Madha Yudis || Belum mandi || Koeaing || Hamzar || Rosa || Ghifarie || Kawas || Wazeen || Swara Muslim || Forum Swara Muslim ||

Yunita Ramadhana Blog   Scholarship Blog

Yunita Ramadhana Blog   The World of English Literature


    Subscribe in NewsGator Online   Subscribe in Rojo   Add Goresan Pena Yunita to Newsburst from CNET News.com   Add to Google     Subscribe in Bloglines   Add Goresan Pena Yunita to ODEO   Subscribe in podnova     Subscribe in a reader   Add to My AOL   Subscribe in FeedLounge   Add to netvibes   Subscribe 

in Bloglines   Add to The Free Dictionary   Add to Bitty Browser   Add to Plusmo   Subscribe in 

NewsAlloy   Add to Excite 

MIX   Add to Pageflakes   Add to netomat Hub   Subscribe to Goresan Pena Yunita   Powered by FeedBurner   I 

heart FeedBurner


eXTReMe Tracker