Cerber: Psikopat dan Perpustakaan (3)
PSYCHOPATH AND LIBRARY (3)
By: Yunita Ramadhana
“Son, aku tinggal ke depan ya, aku mau nanya soal buku yang belum aku temuin ke pegawai perpus, mungkin dipinjam, karena satu minggu yang lalu aku lihat ada, gak apa-apa kan?”
“Gak apa-apa, ntar kamu balikkan?”
“Ya. Kamu baca aja dulu buku-buku yang aku cariin tadi, buku-buku tersebut cukup koq untuk mengejar ketertinggalanmu, ok?”
“Ok.”
Akupun melangkah ke arah meja depan, tempat peminjaman buku. Langsung kutanyakan kepada pegawai perpus, bu Santi, tentang buku karangan Daniel Jones, An Outline of English Phonetics. Bu Santi mengatakan kalau buku tersebut sedang dipinjam, dan mungkin akan dikembalikan sore ini. Ya ampun kenapa bukunya belum dikembalikan? Sore ini harus kembali lagi ke perpus? Ya ampun... Cerita tentang pembunuhan di perpus yang diceritakan Hani tadi pagi kembali terlintas di kepalaku. Mau gak mau aku harus kembali ke perpus sore ini, karena tanpa buku tersebut bahan buat presentasiku kurang. Aku kembali ke meja dimana Soni membaca buku.
“Gimana? Bukunya bagus kan?”
“Eh Joe, iya nih bagus, tapi sayang aku belum punya kartu perpus, jadi gak bisa pinjam, sayang sekali. Kamu gimana, bukunya ada?”
“Gak ada, lagi dipinjam, katanya sih ntar sore dipulangin. Kalau kamu mau, ntar buku-buku ini aku yang pinjam pakai kartuku lalu kupinjamin ke kamu, mau?”
“Mau sekali, gak ngerepotin kan?”
“Gak lah, kan ntar sore aku memang harus kembali ke sini pinjam buku. Wah gawat! 10 menit lagi ada kelas nih!”
Aku dan Soni tergesa-gesa berjalan menuju kelas.
Sore harinya... pukul 17.00 WIB
Akhirnya pelajaran usai. Aku segera beranjak dari tempat dudukku dan mendatangi meja Soni.
“Son, jadi gak pinjam bukunya?”
“Gak usah deh, aku mau berburu-buru pulang nih, mau anterin mamaku belanja. Ntar aja deh, lagian aku mau buat kartu perpus aja biar gampang.”
“Ok deh kalau begitu, aku duluan ya.”
Aku keluar dari kelas menuju perpus. Cuaca kelihatan mendung, awan hitam berarak di atas langit. Sepertinya mau hujan nih, aku harus cepat. Akhirnya aku sampai ke perpus setelah setengah berlari agar aku tiba lebih cepat. Aku langsung melangkah ke meja bu Santi.
“Gimana bu, bukunya dah dikembalikan belum?”
“Aduh Joe, belum tuh, mungkin ntar lagi sekitar jam 17.30.”
“Emang yang minjam siapa sih bu?”
“Sammy, anak semester VII. Dia rajin minjam buku disini dan biasanya dikembalikan tepat waktu, tunggu aja.”
Sammy? Cerita Anti tadi pagi kembali terlintas di pikiranku. Nunggu sampai 5.30 sore? Setengah jam lagi? Ya ampun...malah hari mau hujan lagi. Ya sudahlah, lagian di perpus ini juga banyak orang. Aku menunggu sambil membaca buku dan mempersiapkan data untuk presentasiku. Tanpa terasa kulihat jam, wah sudah jam 6! Kulihat keluar jendela hujan mulai turun. Kubalikkan badan ke arah meja bu Santi. Kulihat seorang pria sedang berbicara dengan bu Santi sambil mengembalikan buku. Wajahnya tidak terlalu jelas karena tertutup topi dan kebetulan tempat dudukku jauh dari meja bu Santi. Tiba-tiba dia menatap ke arahku. Matanya yang bersinar menatapku dengan tajam, seperti mata elang yang hendak memakan mangsanya. Jantungku langsung berdebar kencang. Aku langsung membalikkan badan. Ya Tuhan...aku harus segera keluar dari tempat ini, tapi...ya hujannya tambah deras, gimana mau pulang, malah orang tinggal sedikit di sini. Ketakutan menjalar ke sekujur tubuhku, aku kah korban berikutnya?pikirku dalam hati. Tenang Joe belum tentu dia pelakunya, hiburku dalam hati.
Kupalingkan muka ke meja bu Santi. Alhamdulillah, dia udah gak ada. Tapi ketika mataku tertuju pada satu meja, kulihat sesosok pria bertopi lagi membaca buku. Itu dia, Sammy! Ya Tuhan, tolonglah hambamu ini, doaku dalam hati. Dengan berat, aku melangkah ke meja bu Santi.
“Kenapa Joe? Koq pucat?”
“Gak apa-apa bu, mungkin kedinginan,”jawabku. Setakut itukah aku? Sampai-sampai wajahku menjadi pucat pasi.
“Oh ya, nih bukunya, tadi barusan dikembaliin, tuh dia orangnya,”sahut bu Santi sambil menunjuk ke arah Sammy yang sedang asyik membaca buku.
“Kalau gitu saya pinjam sekarang bu, dah malam nih, mau pulang,”jawabku sekenanya sambil menyerahkan kartuku.
“Ok. Tapi diluarkan masih hujan, sebentar lagi aja tunggu agak reda,”ujar bu Santi sambil mengisi kartu perpusku.
Aku diam tak menjawab. Menunggu? Satu menit saja seperti satu abad mengingat ada sosok seorang Sammy di dalam gedung ini. Tapi ya sudahlah, aku akan tunggu kira-kira 15 menit, kalau gak reda juga aku harus pulang sebelum menyesal.
15 menit telah berlalu...
Hujan sudah mulai reda. Akupun bergegas pulang. Kulihat Sammy masih asyik dengan buku-bukunya. Setelah permisi dengan bu Santi, akupun melangkah keluar perpus. Sambil kedinginan, aku menerobos hujan yang kelihatannya akan deras lagi. Tiba-tiba aku merasa ada sepasang mata yang mengintaiku, dan kudengar langkah kaki mengikutiku dari belakang. Dari sudut mataku, samar-samar kulihat sosok tinggi bertopi berjalan tepat di belakangku. Kupercepat langkahku dan akhirnya aku sampai di gerbang kampus, dengan tergesa-gesa aku berjalan menuju halte bis yang kebetulan ramai orang. Kulihat ke belakang, sosok pria bertopi itu ternyata Sammy! Ya ampun...benarkah dia pelakunya? Dari kejauhan kulihat sedan hitam yang sepertinya kukenal melaju ke halte dan berhenti tepat di depanku.
“Hi Joe, ayo naik, dah malam nih,”Anti berteriak ke arahku sambil membuka pintu mobil.
“Hi An,”akupun melangkah masuk ke dalam mobil. Alhamdulillah, pikirku.
“Dasar anak rajin, pasti dari perpus ya kan?”
“Ya, pinjam buku buat presentasi.”
Kami terdiam untuk beberapa saat.
“An,”sela ku untuk memecah keheningan. “Aku dah tahu koq alasannya kenapa kamu heran aku berani pulang malam dari perpus. Hani teman sekelasku yang cerita.”
“Oh bagus deh. Dia cerita semuanya?”
“Semuanya. Dari cerita 3 tahun yang lalu sampai sekarang, sekalian sama yang diduga jadi pelakunya. Sammy kan yang kemungkinan jadi pelakunya?”
“Sammy? Ya sih kebanyakan orang menduga bahwa Sammy pelakunya karena di dekat dan sering terlihat bersama dan akrab dengan ketiga korban. Sammy itu anak pintar, rajin, suka menolong, jadi banyak mahasiswa/i yang sering bertanya dan dekat dengannya. Semenjak rumours itu beredar, tidak ada lagi yang berani dekat dengannya.”
(Bersambung...)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home