Saturday, March 24, 2007

Hujan es di Delhi

Hujan es di Delhi

Hujan es? Sepertinya bukan hal yang aneh bagi orang2 yang berdomisili di negara yang memiliki snowy season. Di India, ada sebagian wilayah yang mengalami snowy season atau bahasa kerennya 'musim salju', namun tidak demikian halnya dengan New Delhi. Di Delhi hanya ada winter season alias 'musim dingin' namun tidak bersalju. Kalau ingin melihat salju, anda harus berjalan2 ke state Uttar Pradesh, dari mulai wilayah Simla trus ke atasnya.

Kali ini, selama hampir 2 tahun saya di India, hujan es turun di ibukotanya India, New Delhi. Hari itu, 21 Maret 2007, tepatnya hari Rabu kemarin, hujan es yang cukup membuat heboh para penduduk melanda kota Delhi. Ini merupakan pengalaman pertama juga buat saya, yang notabene warga Indonesia yang sedang merantau ke negeri Shahrukh Khan untuk menimba ilmu.

Pada waktu itu, saya sedang ngobrol2 dengan teman2 sesama orang Indonesia yang kebetulan tinggal satu kost2an dengan saya. Tiba2 terdengar suara rintik hujan dan angin yang lumayan kencang. Awalnya kami kira itu hanya hujan biasa, tapi suaranya koq besar sekali, seperti suara batu menimpa atap. Ditambah lagi, suara hiruk pikuk yang terdengar dari luar membuat kami lebih penasaran. Inikan cuma hujan, kenapa mereka berisik dan heboh sekali? Mungkin karena jarang hujan ya di Delhi? Kami saling menebak-nebak. Tapi, suara butiran hujan yang cukup kuat di atas atap rumah, membuat kami curiga, ada apa ini? Tanpa ragu2 lagi kami melangkah ke pintu kamar dan membukanya. Dan ternyata???? Ya ampuuuuuuuuuunnn...hujan es!!!! Sontak kami kaget dan juga kegirangan, dan segera mengambil foto2 sekaligus merekamnya (maklum di Indonesia kan ga ada musim salju, hihihi...) Pantesan nih orang2 India pada heboh, ternyata ada hujan es. Lumayan cukup lama juga hujan es tadi. Yang lebih anehnya lagi, butiran2 es tadi di makan sama mereka, langsung, tanpa dicuci. Emangnya enak? kami saling bertanya satu sama lain. Iseng2 dan ingin tahu aja rasanya gimana, kami mengambil beberapa butiran salju, dan memakannya. Tapi eeiitttsss, dicuci dulu tentunya. Rasanya biasa aja, tapi sangat lembut, padahal keras loh.

Hujan terus berlanjut, namun tidak lagi diikuti dengan butiran es, hanya hujan biasa. Menurut para seniorku, itulah tandanya summer alias 'musim panas' akan datang. Dan emang benar, setelah hari itu, cuaca di Delhi menjadi cukup panas dan teriiiiiiiiiiiikkk... Anyway, whatever it is, ini adalah pengalaman pertama buatku melihat butiran es langsung turun dari langit ke bumi. Ooohhh...indahnya. Allah memang maha besar dan maha kaya, praise be to Him.

PS: Maaf, foto2nya belum bisa di publish, masih di kamera temen, belum di transfer, hehehe...

Selanjutnya...
Scholarship Blog International Scholarships

 

Sunday, March 18, 2007

Review: Diskusi dan Perbaikan Gizi

Diskusi dan Perbaikan Gizi

Kemarin, Sabtu, 17 Maret 2007, benar2 hari yang amat sangat menyenangkan buat kami, anak2 PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) di India. Seperti biasa, pada hari itu kami melakukan kegiatan rutin bulanan diskusi ilmiah. Namun, diskusi kali ini berbeda dengan diskusi2 sebelumnya. Bukan hanya beda tempat, tapi juga beda menu makannya, yang mmmm....uenak tenan.

Hari itu, kegiatan diskusi ilmiah yang biasanya berdomisili di wisma PPI, berpindah tempat ke Kedutaan Besar RI yang ada di New Delhi, lebih tepatnya di rumah salah satu diplomat, Bapak Kol. Laut. Nugroho Mujianto, yang menjabat sebagai Atase Pertahanan di KBRI. Hal seperti ini, sepanjang pengetahuan saya, belum pernah terjadi di dunia per-PPI-an India. Ini kali pertama, alias gebrakan baru.

Kali itu, ada dua pembicara dengan dua tema yang berbeda. Salah satu pembicara adalah bapak Nugroho sendiri yang mengangkat tema tentang Hukum Laut Indonesia dan Dunia, serta sejarah bagaimana Indonesia akhirnya disebut sebagai negara kepulauan alias archipelago. Tema ini sangat menarik buat kami, karena beliau juga menjelaskan alasan2 mengapa Malaysia ingin merebut pulau Sipandan dan tetangganya dari tangan Indonesia.

Pembicara kedua adalah, rekan kami sesama anggota PPI sekaligus Wakil Ketua, yang juga merupakan salah satu pegawai di Mahkamah Konstitusi Indonesia, Pan Mohammad Faiz Kusuma Wijaya. Faiz mengangkat tema tentang struktur ketatanegaraan RI pasca amandemen UUD. Tema ini sama menariknya dengan tema kelautan di atas, karena ternyata sudah banyak yang berubah pada struktur kepemerintahan RI yang belum kami ketahui. Tapi yang lebih menarik lagi adalah, Faiz memberikan inovasi baru, yaitu sebuah Quiz yang berkenaan dengan tema yang dibawakannya, dan berhadiah pula. Mmmm...belum pernah ada pembicara yang melakukan hal ini dalam setiap kali ada diskusi.

Selain itu diskusi ini juga merupakan diskusi termewah. Mengapa demikian? Karena selain menggunakan slide atau LCD sebagai alat bantu presentasi (setahu saya hal ini juga belum pernah dilakukan), selama proses diskusi berlangsung, kami disuguhi berbagai macam makanan ringan dari mulai pisang goreng yang hampir tidak pernah ditemukan selain di KBRI, sampai spring roll isi ayam, lengkap dengan jus buah beraneka rasa, mmmm...nyummy... Sayangnya diskusi ini tidak dapat berlanjut karena keterbatasan waktu dan kami juga harus melakukan kegiatan lain yang sudah di rencanakan yaitu olah raga bersama, yah...sambil menunggu makan malam lah. Makan malam???? Ya, pada hari itu juga ada jamuan makan malam yang dilakukan oleh bapak dan Ibu Nugroho selaku tuan rumah. Benar2 diskusi yang spesial bukan????

Ngomong2 soal makan malam, menunya juga uenak tenan. Ada sate ayam, sate kambing, sup kambing, dan yang terpenting adalah BAKSOOOOO... Belum lagi, segala kue, n cake sebagai makanan penutup, n buah untuk cuci mulut, mmmm... perbaikan gizi euuuuuyyyy.... Eiiiitt...cerita diskusi termewah ini, belum berhenti sampai disini. Masih ada lagi yang lebih menyenangkan sekaligus mengharukan. Apa itu???? Berhubung acara pada hari itu berakhir sampai larut malam sekali, sekitar jam 11 malam, Bapa dan Ibu Nugroho berbaik hati mengantarkan kami ke kediaman kami masing2, LANGSUNG TANPA SUPIR! Padahal rumah kami ga ada yang searah, satu di utara satu di selatan. Jadilah malam itu, kami berkeliling2 Delhi, dari South ke North trus ke South lagi. Saya menyebutnya around Delhi in 2,5 hours. Benar2 melelahkan, tapi menyenangkan. Bagaimana tidak, mahasiswa2 biasa diantar langsung ke rumah sama seorang Kolonel!

Aaahh... kemarin itu memang hari yang menyenangkan dan bisa dibilang bersejarah. Terima Kasih buat Bapak dan Ibu Nugroho yang sudah berbaik hati menyediakan tempat untuk diskusi kami sekaligus menyediakan makan malam yang enak sekali, plus layanan antar langsung ke rumah masing2, boleh dibilang sampe depan pintu.

Kapan lagi yah diskusi seperti ini akan terjadi lagi???


Selanjutnya...
Scholarship Blog International Scholarships

 

Sunday, March 11, 2007

Refleksi: Aku Hanyalah Debu

Aku Hanyalah Debu

Membaca salah satu blog dari pengunjung yang kebetulan mampir ke blog saya, membuat pikiran dan hati saya terbuka, dan menyadarkan saya, bahwa sebenarnya sebagai manusia kita ini bukan apa2. Kita ini tidak lebih dari debu yang terbang kesana kemari mencari tempatnya berpijak dan pada akhirnya satu2nya tempat yang di temui hanyalah tanah. Oleh karena itu, tidak sewajarnyalah sebagai manusia kita sombong dan selalu beranggapan kitalah yang terhebat, karena pada akhirnya kita kembali ke tanah juga. Berikut ini saya lampirkan tulisannya:

Aku adalah debu yang kebetulan menempel pada sebuah dahan pohon yang rindang. Sebagai debu, tidaklah pantas ia disandingkan dengan dedaunan hijau, bunga yang memesona, buah yang segar, batang dan akar yang kokoh, dahan yang kekar, dan ranting yang kuat. Bagaimana pun juga, debu tetaplah debu yang kebetulan ikut bersama angin dan menempel pada dedaunan hijau, pada bunga yang memesona, pada buah yang segar, pada batang yang kokoh, pada dahan yang kekar, dan pada ranting yang kuat.

Aku adalah debu yang kebetulan menempel pada sebuah dahan pohon yang rindang. Yang kapan saja bisa sirna diterpa hujan dan menyatu dengan tanah, karena pada dasarnya, hakikat dari debu adalah tanah. Keangkuhan yang telah membuat debu meninggalkan tanah, sebuah keangkuhan untuk bebas dan mengembara bersama angin. Namun pada akhirnya, debu akan berpulang juga pada tanah, karena itu adalah takdirnya.

Aku adalah debu yang kebetulan menempel pada sebuah dahan pohon yang rindang, dan hingga saat ini masih mampu menyaksikan bagaimana pucuk-pucuk hijau muncul dari ujung-ujung ranting, yang kemudian tumbuh dewasa, lalu menguning, mengering dan gugur kepermukaan tanah. Sebagai debu, akupun menyaksikan bagaimana disela-sela tangkai daun muncul titik kecil yang kemudian menjadi bunga-bunga yang memesona dan pada akhirnya membesar dan mengubah dirinya menjadi buah yang ranum. Disini aku menyaksikan bagaimana buah ranum tersebut akhirnya dipetik oleh manusia yang ingin menyantapnya, ada pula yang dilukai dan dimakan oleh kelelawar dan burung, dan ada pula yang membusuk dan akhirnya jatuh kepermukaan tanah.

Tidak hanya itu, aku juga menyaksikan bagaimana dahan-dahan, ranting-ranting dan kulit-kulit batang menua dan kering dan akhirnya terkelupas dan gugur pula kepermukaaan tanah.

Entahlah, apakah aku akan menyatu dengan tanah dengan cara diterpa hujan ataukah dengan cara gugur besama menua dan mengelupasnya dahan pohon yang aku lekati, atau mungkin pula aku akan kembali diterpa dan dibawa bersama angin dan akhirnya menempel dan melekat pada dahan pohon yang baru. Entahlah…karena masa depan adalah hamparan kemungkinan-kemungkinan.

Disinilah aku menyadari bahwa ternyata bukan hanya debu yang memiliki takdir untuk kembali pada tanah, namun juga dedaunan hijau, bunga yang memesona, buah yang segar, batang dan akar yang kokoh, dahan yang kekar, dan ranting yang kuat. Semua hanya persoalan waktu.

Aku adalah debu yang kebetulan menempel pada sebuah dahan pohon yang rindang. Walaupun begitu, aku adalah debu yang menjadi saksi sejarah, debu yang telah menyaksikan kelahiran dan kematian, kedatangan dan kepergian. Aku adalah debu yang telah merasakan bagaimana bahagia dan indahnya kelahiran dan kedatangan, dan bagaimana sedih dan pedihnya kematian dan kepergian. Tapi itulah jalan kehidupan, ada yang lahir dan ada yang mati, ada yang datang dan ada yang pergi.

Akupun demikian, aku telah lahir dan datang. Dan suatu saat nanti akupun pasti akan mati dan pergi. Semuanya hanya persoalan waktu.

Kelahiran akan disusul oleh kematian dan kematian akan disusul pula oleh kelahiran yang baru.
Kedatangan akan disusul oleh kepergian dan kepergian akan disusul pula oleh kedatangan yang baru.
Semuanya hanya persoalan waktu…



Selanjutnya...
Scholarship Blog International Scholarships

 

Friday, March 09, 2007

Puisi: Cahaya

Cahaya
Oleh: Yunita Ramadhana

Pertama aku mengenalmu
Kau goreskan sesuatu di hatiku
Yang tiada ku tahu apa itu
Ku rasakan kau tak asing bagiku

Jiwaku seakan mengenalmu
Mataku seakan akrab denganmu
Tiada ingin ku jauh darimu
Ku ingin selalu di dekatmu

Tanpa pernah ku sadari
Alam menjawab risau hati
Apa yang terjadi?
Hasrat bergejolak di sanubari

Cinta...
Demikian aku menyebutnya
Duniaku jadi berwarna
Di penuhi gemerlap cahaya

Perlahan demi perlahan
Cahaya itu mulai meredup
Duniaku tak secerah dulu
Semuanya kabur tak berbentuk

Ada apa ini?
Kemana jiwa yang ku kenal itu?
Kemana mata yang akrab itu?
Kemana warna-warna itu?

Ku berlari ke sana kemari
Mengikuti arah matahari
Namun tiada ku temui
Jawaban pasti yang ku cari

Cinta...
Mengapa kau tinggalkan aku sendiri?
Kau begitu dekat denganku
Tapi tak dapat ku rengkuh

Pikirku berkata, hentikan saja semua ini
Tiada guna berkeras hati.
Namun apa yang terjadi?
Mata hati menolak pasti

Ku terus berjalan tiada henti
Hingga akhirnya ku temui
Secercah sinar mendekati;
Sinar apa ini?

Semakin lama ku amati
Ku tahu sinar apa ini
Inilah sinar yang ku cari
Sinar yang dulu ku miliki
Duniaku seakan berwarna kembali

Tiada hitam tanpa putih
Tiada bahagia tanpa perih
Belum sempat sinar itu ku nikmati
Kembali awan hitam menyelimuti

Wahai alam...
Mengapa ini terjadi lagi?
Mimpi indah itu punah lagi
Apakah yang harus aku lakui?

Cinta...
Haruskah ku biarkan awan hitam menutupi sinar itu?
Atau haruskah ku abaikan ia dan terus berjalan di jalanku?
Atau ku serahkan semua pada alam dan waktu?

Hanya satu hal yang ku tahu
Mudah menyerah bukanlah diri dan jiwaku
Kalaulah memang alam dan waktu akan membimbing jalanku
Akan ku minta pemiliknya untuk membimbingku
Guna menembus awan hitam itu
Dan mendapatkan kembali cahaya hidupku...


Rabu, 7 Maret 2007
Pukul: 00.15
Okhla, New Delhi
India



Selanjutnya...
Scholarship Blog International Scholarships

 

Thursday, March 08, 2007

Refleksi: Indonesia berduka lagi

Indonesia berduka: Jatuhnya Pesawat Garuda Indonesia
Oleh: Yunita Ramadhana

Membaca dan mendengar berita jatuhnya pesawat Garuda di bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, pada tanggal 7 maret kemarin, mengingatkan saya akan puluhan kecelakaan pesawat yang terjadi di Indonesia. Ada apa dengan armada terbang Indonesia?

Sebelum terjadinya peristiwa na'as itu, salah seorang teman saya, sebut saja the judge, pernah mengutarakan, demi kenyamanan hati sebaiknya gunakan pesawat garuda apabila kita ingin terbang di dalam negeri (Indonesia). Kenapa? saya bertanya. Karena Garuda sedikit sekali mengalami kecelakaan di banding pesawat2 lainnya, lagipula Garuda itu milik pemerintah, kemungkinan kucuran biaya pemeliharaan yang lumayan jumlahnya pasti lebih besar dibanding armada2 yang lain. Saya pikir2 iya juga sih. Berita kecelakaan pesawat yang terdahulu bukanlah berasal dari penerbangan Garuda.

Namun, apa yang terjadi kini. Belum ada dua hari the judge mengungkapkan hal itu, eehh...pesawat Garuda malah jatuh di Yogyakarta dan hampir seluruh tubuh pesawat kecuali bagian ekor terbakar. Belum ada jumlah pasti tentang jumlah korban yang meninggal. Sebenarnya berita ini tidak terlalu mengagetkan, mengingat sudah begitu banyak berita kecelakaan pesawat yang kita terima. Yang cukup ironis adalah Garuda yang cukup di percaya oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia pengguna jasa pelayanan udara, juga mengalami kecelakaan yang kemungkinan karena ada masalah tekhnis ataupun cuaca. Dengan kejadian ini, pesawat lokal mana lagi yang dapat di percaya?

Selain itu, kejadian ini juga menambah rentetan kecelakaan dan bencana yang menimpa negeri kita tercinta, Indonesia. Bencana datang bertubi2 seolah tak kenal ampun. Gempa bumi, gunung meletus, longsor, kecelakaan pesawat, kecelakaan feri, serta banjir jilid 2 yang melanda ibukota yang datang secara silih berganti, yang boleh dikatakan tanpa rentang waktu yang cukup panjang dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Ada apa ini? Siapa yang patut di salahkan? Alam atau manusianya?

Alam tidaklah patut untuk di salahkan, karena dia menjalankan semuanya sesuai dengan kodratnya. Bagaimana dengan manusianya? Lebih relevan untuk di salahkan, karena manusia mempunyai sifat tak pernah puas sehingga cenderung untuk melakukan sesuatu yang terkadang mengabaikan akibat apa yang bakal ditimbulkannya. Bisa juga sang pencipta murka karena melihat makhluk ciptaanya sudah terlalu jauh dari ajarannya, dan seakan2 bangga dengan dosa2 yang telah di perbuatnya, seperti yang dituturkan Ebiet G. Ade dalam syairnya "Mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa; Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita, coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang."

Mungkin dengan alasan itulah, salah satu partai besar di tanah air, Golkar, mengusulkan agar pemerintah melakukan tobat nasional yang dilakukan oleh seluruh pemeluk agama yang ada di Indonesia. Usulan ini mungkin ada benarnya, namun tidak terlalu. Mengapa? Sangat simple alasannya. Buat apa kita melakukan tobat nasional kalau hanya sebagai topeng belaka dan bukan berasal dari hati yang terdalam, atau yang lebih dikenal dengan sebutan "tobat makan cabai"? Tobat ketika terasa pedas, makan lagi ketika pedasnya hilang. Tidaklah terlalu perlu mengadakan tobat nasional, yang terpenting adalah kita introspeksi diri sendiri dan menyadari akan kesalahan yang telah di perbuat, dan merubahnya. Bukan dengan mengadakan "tobat nasional" yang ujung2nya mengarah kepada kemunafikan, yang pastinya akan lebih membuat murka alam dan Sang Penciptanya. Mungkin apa yang dikatakan aktivis muda era tahun 60-70an Sue Hok Gie, ada benarnya. "Lebih baik di asingkan daripada bersandar pada kemunafikan." Inilah yang selalu dilakukan kebanyakan masyarakat Indonesia, bangga akan kemunafikan. Padahal, Allah Swt sangat membenci apa itu yang disebut dengan kemunafikan.



Selanjutnya...
Scholarship Blog International Scholarships

 


:: F R I E N D S ::
|| Purwarno Hadinata || Rozio || A. Fatih Syuhud || Rizqon Khamami || A Qisai || Lukman Nul Hakim|| Zamhasari Jamil|| Rini Ekayati|| Najlah Naqiyah || Zulfitri || Fadlan Achdan|| Tylla Subijantoro|| Mukhlis Zamzami|| Edward Ott|| Thinley|| Ahmed|| Dudi Aligarh|| Irwansyah Yahya|| Ikhsan Aligarh|| Zulfikar Karimuddin || Zamhasari || Pan Mohamad Faiz || Bayu || Asnadi Hasan || Umi Kalsum || Erdenesuvd Biraa || Andi Bagus || Madha Yudis || Belum mandi || Koeaing || Hamzar || Rosa || Ghifarie || Kawas || Wazeen || Swara Muslim || Forum Swara Muslim ||

Yunita Ramadhana Blog   Scholarship Blog

Yunita Ramadhana Blog   The World of English Literature


    Subscribe in NewsGator Online   Subscribe in Rojo   Add Goresan Pena Yunita to Newsburst from CNET News.com   Add to Google     Subscribe in Bloglines   Add Goresan Pena Yunita to ODEO   Subscribe in podnova     Subscribe in a reader   Add to My AOL   Subscribe in FeedLounge   Add to netvibes   Subscribe 

in Bloglines   Add to The Free Dictionary   Add to Bitty Browser   Add to Plusmo   Subscribe in 

NewsAlloy   Add to Excite 

MIX   Add to Pageflakes   Add to netomat Hub   Subscribe to Goresan Pena Yunita   Powered by FeedBurner   I 

heart FeedBurner


eXTReMe Tracker